SOSIOLOGI AGAMA
I. Pendahuluan
Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya
sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi
adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari
sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak melihat bagaimana
seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama
secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan
atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah
peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari
hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai
definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian
masyarakat.
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasan agama, maka
bidang agama merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur dengan
menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara kita,
perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik.
Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek
etik dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
II. Rumusan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Pengertian, sejarah, tokoh dan fungsi sosiologi agama
2. Hubungan antara sosiologi agama dengan ilmu-ilmu keislaman
3. Metodologi penelitian sosiologi agama baik dalam perspektif islam atau sekuler
4. Beberapa penjelasan tentang :
a. Komunitas sosial
b. Kelompok sosial
c. Stratifikasi sosial
d. Perilaku dan tindakan sosial
e. Rekayasa sosial
f. Teori-teori sosial
III. Pembahasan
1. Pengertian, sejarah, tokoh dan fungsi sosiologi agama
Sosiologi agama adalah studi tentang
fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi
agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai
hubungan agama dengan masyarakat.
Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang
mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[1]
Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak
munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas dari sosiologi umum
adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka
tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan
ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari
segi “supranatural”, maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut
empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena
agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan
nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan
operasi masyarakat. Lebih konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsur
kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya,
ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai
dasar-dasar haluan Negara, memainkan peranan dalam munculnya strata
(lapisan) sosial, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial,
perubahan sosial, fanatisme dan lain sebagainya. Menurut Keith A.
Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah sebagai berikut :
1) Kelompok-kelompok
dan lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi
kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya
2) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual
3) Konflik
antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan, Kristen dengan Islam
dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian
kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi
agama adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama
sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi agama sebagai fenomena
sosial, sebagai fakta social yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh
banyak orang. Ilmu ini hanya mengkonstatasi akibat empiris
kebenaran-kebenaran supra-empiris, yaitu yang disebut dengan istilah
masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi agama.
Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni
(1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent
whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites
adherents in a single community known as a Church (satu
sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya
menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari
pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang
menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan
umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan
dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah
mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara
pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam
transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara
kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak
sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik
yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi
pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk
membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas
penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam
memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi,
Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya
khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang
kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal
yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana
kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak
atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx
menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang
terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa
agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang
tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan
masyarakat miskin yang tertindas.[2]
Fungsi-Fungsi Sosiologi Agama Dalam Masyarakat
Sebelum kita membahas
tentang fungsi-fungsi sosiologi agama, hendaknya kita pahami terlebih
dahulu fungsi-fungsi agama terhadap masyarakat. Fungsi
agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai
kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan
pemeliharaannya sampai batas minimal. Kedua, agama berfungsi memenuhi
sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat
beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu beberapa jenis persetujuan bersama, ataukonsensus,
mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga
mengenai adanya kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak
yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut,
minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai sosial.
Bahwasanya masyarakat sedikit banyak ditemukannya konsep-konsep yang
jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai standar tingkah-laku itu.
Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut oleh
sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para
sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi
antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan
kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota
masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan
bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran
yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang
sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian
hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena
penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima
dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri
kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran
kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.[3]
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang besar bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat
serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan
masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para
pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak
kalah beratnya dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan
pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi
dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan
setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan
bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin
memahami nilai-nilai, norma, tradisi dan keyakinan yang dianut oleh
masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi
alasan untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita
lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala
sosial keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang
tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita hadapi.
2. Hubungan antara sosiologi agama dengan ilmu-ilmu keislaman
Tidak dapat dipungkiri bahwa para pakar sosiolog
senantiasa melihat kondisi sosial berdasarkan sudut pandang yang berbeda
sesuai dengan latar belakang akademik dan pengalaman hidupnya. Namun
bagi masyarakat muslim, kita mempecayai bahwa al-Qur’an juga telah
menggariskan satu bentuk ideal masyarakat sebagai acuan umat Islam dalam
kehidupan sosial.[4]
Perlunya pemahaman,’ hadits (flqhul hadits) dengan pendekatan historis,
sosiologis dan antropologis untuk menemukan pemahaman hadits yang
relatif lebih tepat, dir,amis, akomodatif dan apresiasif terhadap
perubahan serta perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut
sebagai pisau analisis dalam memahami hadits-hadits yang tidak memiliki
asbabul uyu rud secara khusus. Namun demikian, bukan berarti
pendekatan-pendekatan tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai
kelemahan-kelemahan, antara lain adanya kesan ingin mencocok-cocokkan
hadits dengan kondisi perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga
seseorang kadang bisa terjebak pada pemahaman yang terlalu ‘dipaksakan’.
Untuk itu, diperlukan kecermatan dalam penggunaan pendekatan tersebut.[5]
Dari penjelasan diatas, saya teringat tentang kisah
didalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang hubungan manusia dengan
manusia, dan manusia dengan tuhan. Jadi, ilmu sosiologi dapat dikaitkan
dengan ilmu-ilmu keislaman yaitu sosiologi dengan tasawuf . Berbicara
tentang tasawuf, tasawuf sangat kental dengan thariqoh. Jadi, sosiologi
juga berhubungan dengan ilmu thariqoh.
3. Metodologi penelitian sosiologi agama baik dalam perspektif islam atau sekuler
Sebagaimana penelaahan proses sosial lainnya, kajian
sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Pengumpulan data dan metode
yang digunakan antara lain dengan data sejarah, analisis komparatif
lintas budaya, observasi, survey, dan lain sebagainya.
a. Analisis Sejarah
Objek studi sosiologi adalah menerangkan realitas masa
kini, yang berhubungan erat dengan kehidupan manusia dan yang
mempengaruhi gagasan serta perilaku manusia. Untuk mengerti persoalan
yang dihadapi manusia saat ini, kita harus mngetahui sejarah masa silam.
Meskipun terkadang metode ini tidak selalu dapat menjawab persoalan
yang dihadapi karena agama tidak sama nilai maupun kepentingannya untuk
setiap tempat dan waktu
Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti
karakter agama dengan menelusuri sumber di masa lampau sebelim
tercampuri tradisi lain. Pendekatan tersebut didasarkan kepada personal
historis dan perkembangan kebudayaan umat manusia. Pendekatan yang
didasarkan atas sejarah personal, berusaha menelusuri awal perkemabangan
tokoh keagamaan secara individual, untuk menemukan sumber-sumber dan
jejak perkembangan perilaku keagamaan sebagai hasil dialog dengan dunia
sekitarnya.
Beberapa sosiolog menggunakan data historis untuk
mencari pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pendekatan ini
telah membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi agama dan
perkembangan tipologi kelompok-kelompok keagamaan. Analisis hisoris
telah digunakan oleh Talcott Parson dan Bellah dalam rangka menjelaskan
evolusi agama, Berger dalam uraian tentang memudarnya agama dalam
masyarakat modern, Max Weber ketika menerangkan tentang sumbangan
teologi Protestan dalam melahirkan kapitalisme dan sebagainya.
b. Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola sosioreligius dibeberapa
daerah kebudayaan, sosiolog dapat memperoleh gambaran mengenai korelasi
unsur budaya tertentu atau kondisi sosio kultural secara umum
Talmon menggunakan data lintas budaya untuk menelaah
pola-pola di antara gerakan millenarian, yaitu gerakan keagamaan yang
menganggap akan adanya era baru di masa yang akan dating setelah
jatuhnya penguasa yang lama. Salah satu kesulitan pelaksanaan analisis
sosiologi agama melalui analisis lintas budaya yaitu sangat
bervariasinya konsep agama pada daerah kebudayaan yang berlainan, juga
sulit dalam mendapatkan ketepatan yang disyaratkan oleh para saintis.
c. Observasi Partisipatif
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks religious.Hal itu dapat dilakukan dengan terus terang, artinya orang yang dobservasi itu boleh mengetahui bahwa mereka sedang dipelajari. Keuntungan dari metode observasi partisipatif adalah :
1. Memungkinkan
pengamatan interaksi simbolik antara anggota kelompok secara mendalam.
Interaksi simbolik maksudnya adalah suatu perspektif teoritik sosiologi
dan psikologi social. Dengan perspektif ini, indivudu tidak dilihat
reponnya yang lahir, namun dipahami makna dari perilaku itu. Sering
makna simbolik dan tata laku dielajari sejak dini secara menyeluruh
dengan jalan individu berperan serta di dalam kelompok. Pakainan,
pandangan mata, jarak antara orang yang sedang bicara dan gerak
merupakan contoh fenomena yang sering secara simbolik sangat signifikan
dalam rangka memperoleh pengertian suatu kebudayaan. Tipe-tipe anggota
yang menjadi objek dalam interaksi simbolik itu digunakan sebagai dasar
analisis
2. Observasi
peran serta memberikan kesempatan untuk mendapatkan data secara
otentik, terutama mengenai perilaku atau karakteristik yag sifatnya
pribadi. Dengan observasi peran serta dapat terungkap kualitas perilaku
yang lebih dalam, yang mungkin tidak tercakup oleh kuesioner maupun
interview singkat. Karena itu, observasi seperti ini sering dihubungkan
Dengan metode riset kualitatif.
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah :
o Mungkin data terbatas pada kemampuan observer dan apa yang dianggap benar dalam suatu kasus, belum tentu benar pada kasus lain.
o Studi
kasus member peluang bagi peneliti untuk mengumpulkan data secara
mendalam, tetapi sering kurang meluas, terikat oleh sesuau aspek
tertentu yang menjadi perhatian peneliti.
o Diperlukan sejumlah besar kasus untuk menggenaralisasikan pola yang diidentifikasikan.
o Data
yang dilaporkan sering terikat oleh system penyaringan peneliti
sendiri. Tidak semua observer tertarik pada pola yang sama. Apa yang
dipilih dan dicatat oleh observer mungkin tidak lengkap.
d. Riset Survey
Peneliti menyusun kuesioner, melakukan interview dengan sampel dari sustu populasi. Sampel dan populasi bias berupa oganisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa.Responden misalnya ditanya tentang :
1. Afiliasi keagamaannya
2. Pengetahuan tentang ajaran agama atau doktrin yang dikembangkan oleh sesuatu organisasi keagamaan
3. Kepercayaan
kepada sesuatu konsep keagamaan tertentu seperti tentang hidup setelah
mati, eksistensi tuhan, tentang akan kembalinya nabi Isa (yesus) dan
indicator religiousitas lainnya
Prosedur ini sangat berguna untuk memperlihatkan
korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sesuatu sikap
social, atau atribut religious tertentu. Kalau metode historis dan
observasi memberi peluang kepada interpretasi data subjektif, maka data
survey untuk mengidentifikasi sesuatu lebih cermat dari korelasi
religious dengan sikap dan karakteristik social tertentu
4. Beberapa Penjelasan tentang :
a. Komunitas Sosial
Komunitas adalah kumpulan dalam suatu rung lingkup
sedangkan sosial adalah pembauran dalam masyarakat. jadi kumpulan dalam
ruang lingkup yang ada pada pembauran masyarakat dimana terdapat
berbagai jenis dan tipe kelompok yang diatur sesuai kepentingan
masing-masing. Misalnya kumpulan sosial pada masyarakat modern dan
tradisional yang satu sama lain jelas berbeda pengertian yang dimana,
modernist menemukan gaya baru yang lebih mutakhir melebihi
tradisionalis. Contoh: masyarakat dayak, dengan kelompokpunk.Masyarakat
dayak menggunakan ciri khusus mereka untuk status sosial dan tingkat
strata, sedangkan kelompok punk mengganggap ciri khas mereka sebagai
bentuk perlawanan terhadap tingkat strata.
b. Kelompok sosial
Pengertian kelompok sosial yang pertama adalah suatu
sistem sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu
sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan bersama. Tentunya perlu
dipertajam lebih lanjut mengenai pengertian ini karena interaksi saja
tidak cukup, karena dua orang saja sudah dapat membentuk kelompok. Contoh : Kelompok Anak Pasar Bitingan
c. Stratifikasi sosial
Menurut Soerjono Soekanto (1982), didalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa
berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru”
atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, atau apapun yang
bernilai ekonomis.[6]
Pitrim A. Sorokin mengemukakan bahwa system
pelapisan dalam masyarakat itu merupakan cirri yang tetap dan umum dan
setiap masyarakat yang hidup secara teratur. Mereka yang memiliki
sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak akan menduduki lapisan atas
dan sebaliknya.
Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakatdapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu :
1. Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomi
2. Kelas yang didasarkan pada faktor politis
3. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat[7]
Contohnya : Stratifikasi pada umat agama hindu.
d. Perilaku dan tindakan sosial
Perilaku sosial
Perilaku erat kaitannya dengan kepribadian yang
terbentuk melalui proses sosialisasi. Sosialisasi adalah proses belajar
yang dilakukan seseorang sejak masa kanak – kanak hingga masa tuanya,
mengenai pola – pola tindakan dalam berinteraksi dengan segala ragam
individu yang ada disekelilingnya.
Sosialisasi dan kepribadian akan membentuk suatu sistem
perilaku yang akan menentukan dan membentuk sikap seseorang. Dalam
setiap kehidupan sosial terdapat kaidah kaodah untuk mengatur hubungan
antara seseorang dengan masyarakatnya sehingga kehidupan bermasyarakat
berlangsung suasana yang teratur karena setiap orang dituntut untuk
mengikuti kaidah tersebut.
Penyimpangan terhadap kaidah dan nilai – nilai dalam
masyarakat disebut deviation, sedangkan orang yang berperililaku
menyimpang disebut deviant.
Tindakan Sosial
Tindakan sosial adalah tindakan individusepanjang tindakannya mempunyai arti atau arti subjektif bagi dirinya yang diarahkan pada tindakan orang lain.
Secara tersirat tindakan sosial terdapat tiga konsep didalamnya, yakni tindakan sosial, tujuan, dan pemahaman. Tindakan
sosial merupakan tindakan seseorang yang diarahkan kepada orang lain.
Tujuan adalah untu mendapatkan reaksi dari seseorang yang sesuai dengan
harapannya. Adapun pemahaman adalah suatu parafsiran seseorang terhadap
tindakan tersebut sehingga dapat memberikan reaksi.
Lima ciri pokok tindakan sosial :
1. Tindakan yang memiliki makna subjektif.
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
3. Tindakan yang berpengaruh positif.
4. Tindakan sosial selalu diarahkan pada orang lain untuk mendapat respon.
5. Tindakan merupakan respon terhadap perilaku orang lain
e. Rekayasa sosial
Rekayasa Sosial adalah campur tangan sebuah gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial.
Latar belakang dari hal ini adalah :
v Ada ketegangan dari masalah sosial
v Ada energi atau visi ideal yang menuntut pelibatan sentimen
v Ada objek masalah yang bisa diamati dan berpotensial untuk diselesaikan
Sedangkan tujuan dari Rekayasa Sosial adalah
Ø Dapat merubah perilaku individual
Ø Dapat merubah set soaial
Ø Dapat mempertinggi martabat umat
Contohnya : Demo
f. Teori-teori sosial
a) Fungsionalisme Struktural
Teori/Perspektif ini menekankan pada keteraturan (order)
dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifes dan keseimbangan (equilibrium).
Dalam
teori/perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu
cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan ke arah
keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem
kerja yang selaras dan seimbang. Dengan kata lain, masyarakat merupakan
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang
saling berkaitandan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang
terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lain.[8]
b) Teori Konflik
Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap Teori Fungsionalisme Struktural. Para teoritisi konflik melihat bahwa masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas. Bertentangan dengan para fungsionalis yangmelihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap.
Para
teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama
karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim
bahwa “nilai-nilai bersama’ yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai
suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus tersebut
adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan
nilai-nilai seta peraturan mereka terhadap semua orang.
c) Teori Neo-Marxis: Teori Kritis
Teori kritis memandang
bahwa kenetralan teori tradisional/klasik sebagai kedok pelestarian
keadaan yang ada (mempertahankan statusquo). Padahal menurut Teori
Kritis, realitas yang ada itu adalah realitas semu yang menindas, oleh
karena itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa
sampai menjadi realitas yang demikian. Teori kritik lahir untuk membuka
seluruh selubung ideologis yang tak rasional yang telah melenyapkan
kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern.
Berpikir kritis adalah berpikir dialektis, yaitu berbikir secara totalitas timbal
balik. Totalitas berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur saling
bernegasi (mengingkari atau diingkari), berkontradiksi (melawan atau
dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai atau diperantarai).
Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu
dan masyarakat (Sindhunata, 1983).
Pemanfaatan
Teori Kritis dalam pembangunan sebagai wujud dari perubahan sosial
tentunya mempunyai prasyarat. Pertama, harus curiga dan kritis terhadap
masyarakat. Kedua, harus berpikir secara historis (mencari
sebab-musababnya). Ketiga, tidak memisahkan antara teori dan praktis.
IV. Kesimpulan
Sosiologi agama adalah studi tentang
fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi
agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai
hubungan agama dengan masyarakat.
Dididalam melihat kondisi sosial yang berbeda sesuai dengan latar
belakang akademik dan pengalaman hidupnya. Namun bagi masyarakat muslim,
kita mempecayai bahwa al-Qur’an juga telah menggariskan satu bentuk
ideal masyarakat sebagai acuan umat Islam dalam kehidupan social.
Hubungan sosiologi agama dengan ilmu-ilmu keislaman yaitu sangat erat. Didalam Al Qur’an yang
menjelaskan tentang hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan
tuhan. Jadi, ilmu sosiologi dapat dikaitkan dengan ilmu-ilmu keislaman
yaitu sosiologi dengan tasawuf . Berbicara tentang tasawuf, tasawuf
sangat kental dengan thariqoh. Jadi, sosiologi juga berhubungan dengan
ilmu thariqoh.
V. Penutup
Demikianlah penjelasan dari makalah saya, apabila banyak kekurangan baik
dalam segi penulisan mengenai makalah baik itu sedikit maupun banyak,
saya minta maaf sebesar-besarnya karena manusia adalah tempatnya salah
dan lupa. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada
umumnya.
VI. Referensi
Blog Dedi Sambas
Bustanuddin Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali Press,Jakarta, 2006
http://hubungan sosiologi dengan hadis.com
http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
J. Dwi Narwoko, Sosiologi pengantar dan terapan, Jakarta, Kencana, 2004
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990
Uwes Fatoni.blogspot.com
[1] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990, hal.28
[2] http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
[3] Bustanuddin Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, Raja Wali Press,Jakarta, 2006, hal.69
[4] Uwes Fatoni.blogspot.com
[5] http://hubungan sosiologi dengan hadis.com
[6] J. Dwi Narwoko, Sosiologi pengantar dan terapan, Jakarta, Kencana, 2004, hal 132
[7] Op cit, hal 133
[8] Blog Dedi Sambas